الهى انت مقصؤ دئ ؤ رضاك مطلؤ ب اعطنى محبتك و معرفتك

Engkaulah Tujuanku, keridhoan Engkau sajalah yang kuharapkan, berikan aku cinta untuk mengenal-MU lebih sempurna


Rabu, 03 Januari 2018

Mengapa Persahabatan Spiritual Penting? (3-habis)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Nabi Musa masih merasa memerlukan sahabat untuk berbagai pengalaman, namun ragu dan berkata, "Aku tidak mengetahui ada seorang yang lebih berilmu dariku." 

Saat itu, Allah SWT menunjuk dan memperkenalkan hamba-Nya yang saleh, belakangan disebut dengan Khidhir AS, sebagaimana diabadikan dalam QS Al-Kahfi: 66-70).

Nabi Musa berkata kepada Khidir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Khidir menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.”

"Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu," kata Khidir.

Ujung perjalanan dua anak manusia ini berakhir dengan ketidaksanggupan Nabi Musa mengikuti persyaratan yang ditetapkan oleh sahabatnya itu. Nabi Musa masih kental menggunakan dimensi logika di dalam menanggapi kelakuan sahabatnya, meskipun sudah diingatkan bahwa belum saatnya untuk bertanya apalagi memprotesnya. Misalnya, ketika sahabatnya melubangi perahu nelayan, membunuh anak kecil yang tak berdosa, dan memugar bangunan tua lalu ditinggalkan.

Dalam hadits banyak ditemukan keutamaan orang-orang yang menjalin persahabatan sejati (ash-shuhbah). Di antaranya ialah mereka akan menjadi salah satu di antara tujuh kelompok yang akan mendapatkan vila peristirahatan di bawah ‘Arasy di Padang Mahsyar, di hari ketika matahari tinggal sedepa di atas kepala dan tidak ada tempat berteduh lain selain itu.

Persahabatan spiritual juga dialami oleh para sufi. Hampir semua sufi besar pernah menceritakan sahabat spiritual sejatinya. Misalnya Imam Al-Ghazali, yang tadinya diakui tidak memberi tempat terhadap dunia tasawuf dengan segala tradisinya, berkenalan dengan seorang ulama tasawuf bernama Yusuf An-Nasaj.

Setelah keduanya menempuh perjalanan hidup intelektual-spiritual, pada akhirnya Imam Al-Ghazali sadar bahwa kehidupan paling memuaskan adalah kehidupan sufistik. Dari kesadaran inilah maka ia menulis masterpiece-nya, Ihya Ulumuddin. Ia mengakui, betapa jauh sahabatnya itu telah mengubah pandangan hidupnya dari seorang yang berkecenderungan sebagai filsuf menjadi sufi.

Hal yang sama juga dialami oleh Jalaluddin Rumi, yang lahir pada 30 September 1207 Masehi, bersahabat akrab dengan Syamsuddin Tabrizi (Syams). Ia pernah difitnah keji sebagai pasangan homoseksualnya karena syair-syair Jalaluddin Rumi dalam Masnawi-nya penuh dengan syair cinta terhadap Syams.

Padahal, yang sesungguhnya terjadi ialah persahabatan spiritual di antara keduanya. Dalam sumber lain, Syams tidak lain adalah Khidir AS (Allahu a’lam). Kita belum terlambat untuk mencari sahabat spiritual sekiranya kita belum menemukannya. Dengan usaha dan doa kepada Allah SWT, semoga kita dipertemukan dengan sahabat spiritual sejati kita. Amin. 

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/28/m03h4x-mengapa-persahabatan-spiritual-penting-3habis

0 komentar: