الهى انت مقصؤ دئ ؤ رضاك مطلؤ ب اعطنى محبتك و معرفتك

Engkaulah Tujuanku, keridhoan Engkau sajalah yang kuharapkan, berikan aku cinta untuk mengenal-MU lebih sempurna


Rabu, 03 Januari 2018

Dari Mukhlish ke Mukhlash

Oleh KH Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta)
Tidak semua orang melakukan perbuatannya dengan ikhlas. Tidak semua orang yang melakukan perbuatannya dengan ikhlas (mukhlish) dapat disebut mukhlash. Dengan kata lain, semua orang yang memiliki kapasitas mukhlash sudah pasti mukhlish, tetapi belum tentu seorang mukhlish adalah mukhlash.  
Dari kata ikhlash lahir kata mukhlash, berarti orang yang mencapai puncak keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang yang berusaha menjadi orang ikhlas (mukhlish) tetapi Allah Swt yang proaktif untuk memberikan keikhlasan itu. Mukhlish masih sadar kalau dirinya berada pada posisi ikhlas, sedangkan mukhlash sudah tidak sadar kalau dirinya sedang berada dalam posisi ikhlas. Keikhlasan sudah merupakan bagian dari habit dan karakternya di dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kalangan sufi memaksudkan konsep ikhlas itu sebagai mukhlash. Syekh al-Fudhail mengatakan: “Menghentikan suatu amal karena manusia adalah riya’, dan mengerjakan suatu karena manusia adalah syirik”. Sahl bin Abdullah mengatakan, ikhlas merupakan ibadah yang paling sulit bagi jiwa, sebab diri manusia tidak punya bagian di dalamnya. Abu Said al-Kharraz menambahkan, riya’nya para ‘arifin (ahli ma’rifah) adalah lebih utama dari pada ikhlasnya para murid. 
Al-Sariy Rahmatullah ‘alaih mengatakan, barangsiapa berhias karena manusia dengan apa yang bukan miliknya, maka ia akan terlempar dari penghargaan Allah. Kata Ruwaim bin Ahmad bin Yazid al-Baghdadi, ikhlas adalah segala amal yang dilakukan pelakunya tidak bermaksud mendapatkan balasan, baik di dunia maupun di akhirat. Ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya. Abu Ya’kub al-Susiy Rahimahullah mengatakan, barang siapa melihat dalam keikhlasannya suatu keikhlasan, maka keikhlasannya itu masih memerlukan keikhlasan lagi. 
Jika masih dalam kadar mukhlish maka yang bersangkutan masih riskan untuk digoda berbagai maneuver iblis, karena masih menyadari dirinya berbuat ikhlas. Sedangkan dalam kadar mukhlash, Iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi berhasil mengganggunya karena langsung di-back-up oleh Allah Swt.

Berbagai firman Allah Swt menyebutkan bahwa orang-orang yang sudah sampai di maqam mukhlash, maka Iblis sudah tidak berdaya lagi menggodanya, sebagaimana pernyataan Iblis yang disebutkan dalam ayat: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlas di antara mereka". (Q.S. al-Hijr/15:39-40).
Dalam ayat lain disebutkan: “Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka. (Q.S. Shad/38:82-83).
Perkatikan ayat-ayat tersebut di atas semuanya menggunakan kata al-mukhlashin (bentuk jamak dari mukhlash)¸ bukannya al-mukhlishin (bentuk jamak dari mukhlish). Ini menunjukkan bahwa jika keikhlasan seseorang baru sampai di tingkat keikhlasan awal maka tidak ada jaminan untuk bebas dari godaan Iblis. Orang-orang yang sudah mencapai tingkat al-mukhlashin bukan hanya terhindar dari cengkeraman Iblis tetapi juga terhindar dari fitnah dan berbagai kecelakaan sosial. 
Untuk mencapai tingkat mukhlash diperlukan latihan spiritual (mujahadah) yang tinggi dan telaten (istiqamah). Mencapai derajat mukhlish saja begitu sulit, apalagi mencapai tingkat mukhlash. Seorang ulama tasawuf bernama Makhul mengatakan: “Tidak seorang pun hamba yang ikhlas selama 40 hari kecuali  akan tampak hikmah dari hatinya melalui lidahnya.” Barang siapa yang sudah mencapai tingkat mukhlash maka patutlah bersyukur karena ia sudah berhasil menjadi orang yang langka. Kelangkaannya terlihat dari sulitnya menemui orang yang betul-betul ikhlas tanpa pamrih sedikit pun dari amal kebajikannya.

Banyak sekali orang-orang yang kelihatannya sudah menjadi tokoh bahkan ulama tetapi masih berhasil tergoda dan jatuh di dalam cengkeraman nafsunya dan perbuatan terlarang. Itu menjadi pertanda perlunya kita selalu mengasah keikhlasan. Kita memohon kiranya kita ditingkatkan menjadi manusia yang tadinya tidak pernah ikhlas menjadi mukhlis, lalu terus berdoa dan bersusaha untuk meraih martabat mukhlash. Allahu a’lam.

Dari Shaadiq ke Shiddiiq

Oleh Prof Dr KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta)
REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Nabi Muhammad Saw menceritakan panjang lebar pengalaman perjalanan spiritualnya dalam Isra' Mi'raj, Sayyidina Umar ditanaya, apakah engkau percaya terhadap apa yang diceritakan Nabi barusan? Ia menjawab, sepertinya saya belum bisa percaya. Nanti setelah diyakinkan melalui penjelasan khusus dari Nabi baru ia percaya dan yakin. 
Selanjutnya ketika Sayyidina  Abu Bakar ditanya dengan pertanyaan yang sama, Abu Bakar menjawab. “Lebih dari itu jika itu keluar dari mulut Nabi saya yakin dan percaya.” Sayyidina Umar mungkin sementara bisa menjadi contoh orang yang percaya melalui penjelasan (shaadiq). Sedangkan Sayyidina Abu bakar menjadi contoh orang yang percaya tanpa syarat (shiddiiq). Itulah sebabnya kemudian Abu bakar diberi gelar al-shiddiq, sedangkan Umar tidak memperoleh gelar itu, meskipun pada akhirnya Umar juga sampai pada kualitas al-shiddiiq.
Shadiq dan shiddiq sama-sama berasal dari kata sadaqah-yashduq berati percaya, membenarkan, kemudian membentuk beberapa kata lain termasuk shaadiq dan shiddiiq atau shaduuq. Shaadiq berarti mempercayai sesuatu setelah melalui proses panjang, misalnya menanti penjelasan yang masuk akal dan masuk di hati. Sedangkan shiddiiq atau shaduuq sebuah kepercayaan lebih mendalam dan tanpa harus menunggu proses penjelasan. 
Shaadiq masih terkontaminasi pengaruh akal dan pikiran, sedangkan shiddiiq sudah tidak lagi digoda oleh pikiran. Shaadiq masih sering terganggu oleh suasana mood seseorang, sehingga adakalanya percaya sangat dalam tetapi tiba-tiba kembali ragu. Dampaknya secara sosial orang yang baru sampai di maqam shadiq belum bisa dijamin melakukan ketaatan secara konsisten (istiqaamah) karena masih fluktuatif, masih riskan untuk terpengaruh faktor internal dan eksternal. 
Dalam pandangan ulama tasawuf, sebagaimana diungkapkan Syekh Hasan Syadzali, salah seorang ulama tasawuf yang mu'tabarah (legitimated), seseorang yang sudah sampai ketingkat shiddiiq, sudah mampu menampilkan akhlak karimah. Amalan syari'ahnya sudah sempurna, karakternya diwarnai dengan muru'ah, sikapnya dihiasi dengan tawadhu, perilakunya dibungkus dengan zuhud, dan hati dan pikirannya disinari dengan keikhlasan. 

Ia sudah terbebas dari hijab dhulmani dan hijab nurani, mulai hidup di dalam bayang-bayang Alqur'an dan hadis, dan ma'rifah Allah sudah aktif bekerja di dalam dirinya, sudah mengenali sejumlah rahasia Tuhan. Orang-orang seperti ini dilukiskan  oleh Syekh Hasan Syazali  sebagai "manusia yang tidak seperti manusia" (al-basyar la ka al-basyar). 
"Batin mereka bersama Tuhan dan dhahir mereka  bersama makhluk" (bathinuhum ma'a al-Haq wa dhahiruhum ma'a al-makhluq). "Mereka adalah mereka tetapi mereka bukanlah mereka" (Fa hum hum wa la hum hum). Merekalah yang berakhlak seperti akhlak Nabi, sebagaimana dilukiskan dalam ayat: Wa wajadaka 'ailan fa agna (Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang berkekurangan, lalu Dia memberi kecukupan/Q.S. al-Dhuha/93:9).
Dalam ayat lain diungkapkan: "Mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya"/Q.S. al-Nisa'4:69).
Orang-orang yang sudah sampai kepada maqam shiddiq bukan hanya terbebas dari beban hidup tetapi juga tidak lagi pernah membebani orang lain, termasuk membebani bangsa dan Negara dengan berbagai ulah. Mereka sudah menjadi umat dan warga bangsa yang mandiri tanpa tergantung kepada siapapun selain Tuhan. 
Kita diminta berupaya untuk senantiasa meng-upgrade kepercayaan dan keyakinan diri kita dari tingkat shaadiq ke tingkat shiddiiq. Tidak mudah memang, karena dalam kehidupan sehari-hari kita penuh dengan berbagai godaan dan tantangan.
Bukan hanya godaan dalam bentuk kesedihan dan kekecewaan tetapi juga dalam bentuk kesenangan dan kepuasan. Seorang shiddiiq selalu memancarkan vibrasi positif dan energi produktif ke dalam lingkungan masyarakat. Kedatangannya selalu dinantikan kepergiannya selalu dirindukan. Bukannya seperti orang yang kedatangannya tak menguntungkan kepergiannya tak mengurangi. (Allahu A'lam

Sumber : Pusat Data Republika

Makna Suluk dan Tasawuf

REPUBLIKA.CO.ID, Suluk berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan. Suluk merupakan aktivitas rutin dalam memakmurkan lahir dan batin. Segenap kesibukan hamba hanya ditujukan kepada Sang Rabb. Bahkan ia selalu disibukkan dengan usaha-usaha menjernihkan hati sebagai persiapan untuk sampai kepada-Nya (wusul).

Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang salik (pelaku suluk); Pertama, mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran. Dan kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya, maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang diri dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah orang-orang lemah.

Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara. Sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung kesedihan (karena kehinaan dirinya di hadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berdzikir.

Dengan kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara', meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan perintah-Nya.

Semua itu dilakukan dengan segala kesungguhan hanya karena Allah SWT, bukan sekedar untuk meraih balasan pahala, dan juga diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual kebiasaan. Karena sesungguhnya orang yang asyik dengan amaliyahnya, tidak lagi memandang bentuk rupa zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu hal yang benar adalah meninggalkan segala bentuk ikhtiar sekaligus menenangkan diri dalam hilir mudik takdir Tuhan.

Dalam sebuah syair dinyatakan;
Aku ingin menemuinya,
Namun Dia menghendakiku untuk menghindar
Lalu kutanggalkan semua hasratku
Demi apa yang Kau kehendaki


Sirnakan semua makhluk darimu dengan hukum Allah SWT dan binasakan hawa nafsumu atas perintah-Nya. Demikian halnya, tanggalkan seluruh hasratmu demi perbuatan-perbuatan-Nya (af'al). Dengan demikian, maka kau telah mampu menangkap ilmu Allah SWT.

Kebebasanmu dari ketergantungan dengan makhluk ditandai dengan perpisahanmu dengan mereka, kau tidak akan kembali dengan mereka, dan kau pun tidak akan menyesali semua yang ada dalam genggaman mereka. Adapun tanda kebebasanmu dari hawa nafsu adalah dengan tidak memasang harapan yang berlebihan dari semua usahamu, dan tidak pula bergantung dengan urusan kausalitas untuk meraih sebuah kemanfaatan ataupun untuk menghindari kebinasaan.

Maka kau jangan hanya bergulat dengan dirimu sendiri, jangan terlalu percaya diri, jangan mencelakan atau membahayakan dirimu sendiri. Namun pertama-tama yang harus kau lakukan adalah menyerahkan semuanya pada Yang Berhak, agar Dia berkenan memberikan kuasa-Nya kepadamu. Seperti kepasrahanmu kepada-Nya saat kau berada dalam rahim ibumu, atau saat kau masih dalam susuan ibumu.

Sementara tanggalnya seluruh hasrat iradah-mu, lebur dalam iradah-Nya ditandai dengan tidak adanya sifat menghendaki dalam dirimu (murid), dalam hal ini kau hanyalah sebagai obyek yang dikehendaki (murad). Bahkan dalam setiap lakumu ada intervensi aktivitas-Nya maka jadilah kau sebagai obyek yang dikehendaki-Nya.

Adapun aktivitas-Nya menempati semua anggota ragamu, menenteramkan jiwa, melapangkan dada, menyinari wajahmu, dan memeriahkan suasana batinmu. Takdir menjadi nuansa dalam hatimu, azali senantiasa akan menyerumu. Rabb yang Maha Menguasai mengajarimu dengan ilmu-Nya, menyematkan pakaian untukmu dari cahaya hulul, dan memposisikanmu pada derajat generasi orang terdahulu di antara para ulama yang saleh (ulu al-'ilm).


Sumber : Mi'raj As-Salikin karya Imam Al-Ghazali/Sufi Road

Ilmu Tasawuf

Oleh: KH Siradjuddin Abbas

Ilmu tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu tauhid (ushuluddin), ilmu fiqih dan  ilmu tasawuf. Ilmu tauhid untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai keTuhanan, kerasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya.

Ilmu fiqih bertugas membahas soal-soal ibadah lahir, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyuk, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain. Ringkasnya, tauhid takluk kepada i’tiqad, fiqih takluk kepada ibadah, dan tasawuf takluk kepada akhlak.

Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (ushuluddin), supaya beribadah sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.

Agama kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan. Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut: Pada suatu hari kami (Umar bin Khathab dan para sahabat) duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah SAW.

Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah SAW, seraya berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam."

Lalu Rasulullah SAW menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu."

Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman."

Rasulullah Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada qadhar baik dan buruknya."

Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan."

Rasulullah berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihatmu."

Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang As-Sa’ah (azab kiamat)."

Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."
Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya."

Rasulullah menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan tuannya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat."

Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.

Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?"

Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui."

Rasulullah SAW lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian." (HR Muslim)

Tentang Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syariat lahir. Umpamanya shalat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan, peradilan, peperangan, perdamaian dan lainnya.

Tentang iman kita dapat temukan dalam ilmu tauhid (ushuluddin), sasarannya  i’tiqad (akidah/kepercayaan). Umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati) terhadap Tuhan, malaikat-malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab suci, kampung akhirat, hari kebangkitan, surga, neraka, qadha dan qadhar (takdir).

Tentang ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasawuf. Sasarannya akhlak, budi pekerti, batin yang bersih, bagaimana menghadapi Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan, bagaimana membuang kotoran yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita dengan Tuhan, bagaimana takhalli, tahalli dan tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang dengan tasawuf.

Setiap Muslim harus mengetahui tiga unsur ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan memegang serta mengamalkannya sehari-hari. Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari buku-buku, tulisan  atau dalam jamaah, manhaj, metode atau jalan. Waspadalah jika jamaah yang “menolak” salah satu dari ketiga ilmu itu karena akan memungkinkan ketidaksempurnaan hasil yang akan dicapai.

Ilmu tasawuf itu tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah Nabi dan bahkan Alquran dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya. Andaikata ada kelihatan orang-orang tasawuf yang menyalahi syariat, umpamanya ia tidak shalat, tidak shalat Jumat ke masjid atau shalat tidak berpakaian, makan siang hari pada bulan puasa, maka itu bukanlah orang tasawuf dan jangan kita dengarkan ocehannya.

Imam Abu Yazid Al-Busthami berkata, "Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syariat."

Syekh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili berujar, "Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Alquran dan hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Alquran dan hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Alquran dan hadits."

Jadi syarat untuk mendalami ilmu tasawuf (tentang ihsan) terlebih dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid/ushuluddin (tentang Iman).
Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketakwaan kita.

Mulai sebagai Muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan. Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu tasawuf dikenal dengan nama orang sufi.

Syekh Abu Al-Abbas mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang saleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah SAW. yang didiami para ahli shuffah.

Menurutnya Al-Abbas, kedua definisi ini tidak tepat. Ia mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, "shafahu Allah", yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.

Lebih lanjut Syekh Abu Al-Abbas mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi) terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya. Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu (kesuciannya). Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya). Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu (kefanaannya). Huruf ya’ adalah huruf nisbat.

Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya. Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Allah SWT berfirman: "...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorang pun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki.." (QS An-Nuur: 21)

"Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat." (QS Shaad: 46)

"Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (QS Shaad: 47)

Sumber : 40 Masalah Agama

Jauhar dan 'Aradh

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar*
Salah satu pembahasan yang amat rumit di dalam ilmu filsafat dan ilmu tasawuf ialah masalah jauhar dan 'aradh. Kesulitannya bukan hanya dari segi ontologinya yang akan membahas dari sesuatu yang sangat konkret sampai ke yang mahaabstrak, melainkan juga kita akan mengabstrakkan yang konkret dan mengonkretkan yang abstrak. Dalam tulisan ini lebih ru mit lagi karena juga akan dicoba mengungkap perbedaan antara jauhar dan 'aradh menurut ka langan filsuf dan menurut kalangan sufi.

Jauhar adalah substansi dari sebuah wujud yang dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa ban tuan wujud lain, seperti badan, pohon, batu, dan lain sebagainya. Sedangkan, 'aradh adalah accident yang tidak memiliki substansi wujud tersendiri, tetapi memerlukan wujud lain untuk mewujudkan dirinya, seperti warna dan bentuk.

Jauhar dan 'aradh, menurut para filsuf, merupakan dua struktur entitas yang berbeda walaupun keduanya sulit untuk di pisahkan. Sedangkan, menurut kalangan sufi, 'aradh dan jauhar bukanlah merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi yang satu merupakan hakikat dan lainnya merupakan manifestasi, seperti Allah sebagai hakikat wujud (al- Haqiqah al-Wujud), kemudian memunculkan manifestasi (ma dhhar). Antara hakikat wujud dengan wujud-wujud (a’yan) yang mewujudkan diri-Nya walaupun keduanya berbeda, tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Jauhar dan 'aradh adalah dua manifestasi yang mewujudkan diri-Nya. Yang pertama, (jauhar) manifestasi mampu mewujudkan dirinya sendiri, sedangkan yang kedua ('aradh manifestasi yang tidak mampu mewujudkan diri nya, dengan kata lain ia memerlukan jauhar-jauhar untuk me mantulkan keberadaan dirinya sendiri. Contohnya, bendera Indo nesia, merah putih, tidak mungkin bisa terwujud tanpa ada bahan kain atau tembok tempat warna merah putih itu menempel. Kain atau tembok adalah jauhar, sedangkan warna merah dan putih adalah 'aradh. Contoh lain, se buah nama ngan yang dinamai. Nama adalah menempel pada sebuah zat, ka rena itu nama disebut jauhar dan zat yang dinamai disebut 'aradh.

Dalam pandangan filsafat kain, tembok, yang dinamai merupakan entitas tersendiri dan merah, putih, dan nama juga merupakan entitas tersendiri. Se dangkan, menurut kalangan sufi, kedua komponen itu bukan merupakan entitas tersendiri, yang berbeda, dan terpisah satu sama lain.

Analoginya, para filsuf dan teolog menganggap Tuhan dan makhluknya entitas yang berbeda, bahkan sangat amat berbeda. Satu Tuhan Yang Mahamulia, yang lainnya makhluk yang sa ngat bersahaja dan sederhana. Sedangkan, kalangan sufi meng anggap keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisah kan (tauhid). Yang satu merupakan zat, Haqiqat al-Wujud, yang lain nya adalah manifestasi (madhhar) dari zat atau Haqiqat al-Wujud, baik dalam bentuk jauhar maupun 'aradh.

Dalam pandangan tasawuf, bisa disimpulkan bahwa perwujudan segala sesuatu (a'yan) merupakan manifestasi 'aradh dan 'aradh merupakan manifestasi dari jauhar, kemudian jauhar manifestasi dari al-Haq (al- Haqiqah al-Wujud). Dari sinilah sebabnya, mengapa kalangan sufi enggan menyebut al-Khaliq dan al-makhluq, tetapi lebih suka menyebut istilah al-Haq untuk Tuhan dan al-khalq untuk makhluk, termasuk manusia, karena garis demarkasi antara al-Khaliq dan al-Makhluq sangat tidak je las. Mungkin yang paling dekat dapat dijadikan ukuran ialah an tara al-A'yan al-Tsabitah yang sering juga disebut al-A'yan al- Dakhiliyyah (walaupun ini sebetulnya tidak terlalu tepat) dan ala'yan al-kharijiyyah (lihat artikel terdahulu, “Apa Itu al-A’yan al- Tsabitah”).

Konsep al-Haqiqah al-Wujud ini juga masih mempunyai pembahasan lebih mikro karena penerapan konsep jauhar dan 'aradh ini dapat membantu kita untuk memahami Tuhan yang selama ini mungkin amat susah dipahami. Nabi juga pernah mewanti-wanti kita dengan hadisnya, “Pikirkan lah makhluk Tuhan, jangan memikirkan zat-Nya.” (Tafakkaru fi khalq Allah wa la tafakkaru fi dzat Allah). Ini bukan berarti Tuhan Mahakikir, tidak mau mem perkenalkan diri-Nya kepa da hamba-Nya, sungguh itu ma nusia sebagai makhluk ciptaan paling mulia-Nya, tetapi kata penyair Jalaluddin Rumi, apalah arti sebuah cangkir untuk menampung samudra. Artinya, kapasitas memori manusia sangat tidak mampu untuk menampung Zat Yang Mahabesar.

Sekuat apa pun ilmu pengetahuan, tidak akan pernah sang gup menjelaskan zat Tuhan. Jangankan Tuhan, kalimat-kalimat Tuhan pun tidak akan pernah mampu dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, seperti ditegaslan di dalam QS al-Kahfi, sekalipun lautan samudra bisa dijadikan tinta dan ditambah berkali-kali lagi, tidak akan pernah kita bisa menjelaskan secara sempurna kalimat Tuhan.

Satu-satunya cara bisa digunakan untuk memahami lebih mendalam kompleksitas Tuhan ialah dengan menggunakan ma'rifah atau biasa juga disebut hik mah. Hanya saja ma'rifah atau hikmah tidak semua manusia bisa mengaksesnya. Alquran menegaskan, hanya orang tertentu yang dikehendaki Tuhan yang mampu mengakses hikmah (yutil hikmah man yasya' wa man yutal hikmah faqad utiyah khairan katsiran). Sungguh beruntunglah orang yang mendapatkan hikmah itu. 


*Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Wakil Menteri Agama RI

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/20/lzp270-jauhar-dan-aradh

Mujahadah

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar 
Kata mujahadah tidak lebih populer daripada kata jihad atau ijtihad. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ijtihad lebih utama daripada jihad. Rasulullah SAW bersabda, ''Goresan tinta para ulama lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada.''

Namun, masih ada yang lebih utama dari ijtihad, yakni mujahadah. Mujahadah ialah perjuangan yang mengandalkan unsur batin atau kalbu. Seusai sebuah peperangan yang amat dahsyat, Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabatnya, ''Kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil ke peperangan yang lebih besar.''

Lalu beliau menjelaskan bahwa peperangan terbesar ialah melawan diri sendiri, yakni melawan hawa nafsu. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Gazali mengungkapkan, mujahadah satu jam lebih utama daripada beribadah (formalitas) setahun. Ini artinya, mujahadah merupakan puncak pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya.

Jihad, ijtihad, dan mujahadah, berasal dari satu akar kata yang sama; jahada, yang berarti bersungguh-sungguh. Jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh secara fisik; ijtihad perjuangan sungguh-sungguh melalui pikiran dan logika; dan mujahadah merupakan perjuangan sungguh-sungguh melalui kalbu. Bagi masyarakat awam, jihad itulah ibadah yang paling tinggi. Namun dalam perspektif tasawuf, mujahadah menempati posisi yang lebih utama.

Mujahadah bisa mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Dan ia merupakan kelanjutan dari jihad dan ijtihad. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah satu dari ketiga perjuangan tadi. Tetapi, ketiganya harus sinergi di dalam diri.

Rasulullah SAW adalah contoh yang sempurna. Beliau dikenal sangat terampil dalam perjuangan fisik. Hal itu terbukti dengan keterlibatannya dalam beberapa peperangan. Dan beliau sendiri tampil sebagai panglima perang. Beliau juga seorang yang cerdas pikirannya, dan panjang tahajudnya.

Dalam konteks kekinian, komposisi ketiga unsur perjuangan di atas sebaiknya diatur sesuai dengan kapasitas setiap orang. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Muslim terbaik (khaira ummah).

Seseorang yang hanya memiliki kemampuan fisik, maka jihad fisik baginya adalah perjuangan yang tepat. Bagi seorang ulama, jihad paling utama baginya ialah menulis secara produktif untuk mencerahkan dan mencerdaskan umat. Namun, untuk mujahadah, sesungguhnya dapat diakses setiap orang dari golongan manapun. Mari memopulerkan mujahadah di samping jihad dan ijtihad dalam masyarakat.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/23/lzqh40-mujahadah

Mestikah Manusia Bertasawuf? (1)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq
Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik
Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat
(Imam Malik)

Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.

Pertanyaannya adalah mestikah manusia bertasawuf? Kalau itu mesti, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat?

Apa itu tasawuf?Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.
 
Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.

Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.

Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.

Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/23/lzu9nw-mestikah-manusia-bertasawuf-1

Mestikah Manusia Bertasawuf? (2)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.
Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.

Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H).  Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.

Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.

Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.

Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.

Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.

Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.

Mestikah Manusia Bertasawuf? (3-habis)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.

Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.

Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.

Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.

Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.

Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.

Haruskan bertasawuf?

Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan.

Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.

Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.

Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.

Apa yang Perlu Diperhatikan Sufi Pemula? (1)

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar    
Fenomena kelas menengah kota untuk memahami dan menjalani kehidupan sufistik semakin meningkat. 

Namun, masih perlu dipertanyakan, apakah itu sebagai reaksi terhadap pola hidup yang semakin pragmatis dan materialistis? Mungkinkah itu buah dari kesadaran yang lahir dari semakin luasnya kajian agama melalui berbagai media?

Atau juga mungkin kedua-duanya, yaitu kerinduan terhadap sejuknya pemahaman esoterisme yang dipicu keringnya pemahaman eksoterisme keagamaan yang begitu dominan selama ini? 

Untuk mengantisipasi hal tak sejalan dengan keluhuran ajaran Islam, mereka yang memilih menjalani kehidupan spiritual-sufistik (baca: sufi pemula) perlu mempelajari beberapa hal.

Pertama adalah pengenalan konsep tauhid, yaitu pengesaan Allah SWT. Tidak boleh menyimpang dari penjelasan yang digariskan Alquran dan hadits. Konsep keesaan Allah SWT meliputi keesaan dalam dzat, sifat, dan perbuatan. Sejauh dan setinggi apa pun pencarian seseorang terhadap Tuhan, tak boleh dengan mudah mengklaim dirinya menyatu dengan Tuhan.

Dalam terminologi tasawuf hal itu disebut penyatuan diri manusia dengan Tuhannya (ittihad), Tuhan mengambil tempat di dalam diri manusia (hulul), dan kesatuan Tuhan sebagai Sang Khaliq dengan makhluk-Nya (wahdatul wujud).

Para sufi, terlebih sufi pemula, yang tiba-tiba mengaku sudah sampai di tingkat atau maqam paling tinggi, misalnya fana’, di mana diri sang hamba merasa hancur dan lebur dengan Tuhannya, mengakibatkan ia melewati batas-batas syariat tentang baik dan buruk. Seolah ayat hukum yang tersurat dalam Alquran seakan terhapus dengan kedekatannya dengan Allah.

Mereka juga seolah-olah melewati dunia lahir (syariat) dan sudah masuk ke dalam dunia batin atau hakikat. Ini adalah contoh buruk bagi pengamal tasawuf karena mempertentangkan antara syariat dan hakikat. Mereka menganggap kecintaan terhadap Tuhan telah mencapai puncaknya yang kerap disebut sebagai mahabbah.

Untuk sampai ke puncak dan mempertahankan mahabbah itu, seakan dibutuhkan media seni bunyi-bunyian yang indah dan merdu (sama’). Bahkan, dengan memanfaatkan lagu dan tari. Tingkat ketergantungannya terhadap media musik itu sangat tinggi. Mahabbah boleh-boleh saja, tetapi tidak mesti lebih menonjolkan media ketimbang Tuhannya sendiri.

Dalam menjalani praktik sufi atau masuk ke dalam sebuah tarekat, peran pembimbing (syekh/mursyid) sangat penting. Tanpa pembimbing dikhawatirkan seseorang akan terjebak di dalam praktik sinkretisme atau syirik. Pemujaan berlebihan terhadap syekh atau mursyid bisa juga membawa masalah tersendiri.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/24/lzw0dj-apa-yang-perlu-diperhatikan-sufi-pemula-1

Apa yang Perlu Diperhatikan Sufi Pemula? (2)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam doa meminta pertolongan Tuhan secara masif (istigatsah), syekh atau mursyid sering disebut dan dilibatkan. Syekh atau mursyid juga sering dijadikan objek perantara (tawasul atau wasilah) yang diperlakukan sepadan dengan Rasulullah.

Ketakjuban dan kehormatan kita kepada seorang syekh atau mursyid tidak boleh melampaui batas yang sewajarnya sebagai seorang guru.

Namun di sini, tidak berarti seorang pencari Tuhan atau murid dilarang mengagumi dan menghormati syekh atau mursyidnya sesuai dengan tradisi yang sudah lazim di dalam tarekat tertentu yang diikutinya.

Hal yang penting, niat penghormatan itu tidak terkandung keyakinan bahwa syekh atau mursyid itu suci, dianggap sama, bahkan melampaui Rasulullah.

Sebab, kedudukan nabi dan rasul dalam Islam sudah jelas. Nabi dan rasul memperoleh wahyu dan mukjizat serta keistimewaan dari Allah SWT. Sehebat apa pun seorang ulama, syekh, atau mursyid, bahkan para wali, tidak boleh disamakan apalagi diyakini melampaui kehebatan nabi dan rasul.

Tidak bisa diingkari bahwa ada manusia-manusia saleh atau salehah yang mencapai puncak kedekatan diri dengan Allah SWT. Dalam Alquran mereka disebut sebagai wali, seperti Luqman dan Khidir. Namun, wali yang sebenarnya tidak pernah memperkenalkan dirinya sebagai seorang wali. Bahkan, mereka selalu berusaha menyembunyikan diri agar tak dikenal begitu luas.

Jika ada orang mengaku wali dengan mendemonstrasikan keajaiban atau kekeramatan yang dimilikinya, menurut Ibnu Taimiyah, orang itu perlu dicurigai. Kalangan syekh atau mursyid memang banyak mendambakan kekeramatan untuk legitimasi dirinya di depan jamaahnya. Ia berusaha mencari informasi dari alam gaib guna menunjukkan dirinya sebagai wali.

Namun, orang yang berkecenderungan seperti ini, menurut Ibnu Athaillah, tidak termasuk tokoh mursyid ideal. Orang yang sudah mampu merasa dekat sedekat-dekatnya dengan Tuhannya tidak lagi memerlukan kekeramatan, karena ia sudah yakin dengan dirinya sendiri bahwa apa yang dicarinya selama ini sudah ditemukan. Ambisi popularitas di mata publik sudah tidak ada lagi.

Mukjizat dan karamah

Sekiranya ada tokoh pembimbing spiritual, apakah itu syekh, mursyid, atau wali, yang mengaku berkemampuan untuk berkomunikasi dengan para penghuni alam malakut sehingga mereka memiliki kemampuan memahami sejumlah rahasia, misalnya mampu menebak kejadian yang akan datang. Informasi itu tak bisa diparalelkan dengan kemutlakan kebenaran wahyu.

Apa yang Perlu Diperhatikan Sufi Pemula? (3-habis)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam literatur Sunni, mungkin itu hanya bisa disebut ilham. Keluarbiasaan yang dimiliki orang-orang tersebut bukanlah mukjizat, melainkan kekeramatan (karamah). 

Dalam ontologi Islam dapat dibedakan. Ada tiga hal yang dapat dianggap luar biasa (khariq al-‘adat), yaitu mukjizat, karamah, dan sihir.

Mukjizat adalah perbuatan yang luar biasa yang muncul pada diri seorang nabi atau rasul. Seperti Nabi Ibrahim yang bisa keluar dari lautan api tanpa sedikit pun anggota badannya cedera, Nabi Musa membelah lautan, dan Nabi Isa menghidupkan orang mati. Karamah adalah perbuatan luar biasa, tetapi hanya muncul pada diri seorang wali.

Contohnya banyak, seperti kehebatan yang ditunjukkan oleh Khidir dalam Alquran. Sedangkan sihir adalah perbuatan luar biasa juga, tetapi lebih sederhana dan muncul pada diri orang yang mempelajari ilmunya dengan tekun. Contohnya, tukang-tukang sihir pada zaman Nabi Musa yang mendemonstrasikan sihir ularnya.

Mereka akhirnya berakhir dengan tragis karena ular-ular dan tukang sihirnya ditelan oleh tongkat musa yang menjelma menjadi ular yang lebih hebat. Kepada para calon sufi atau sufi pemula, tak perlu terkecoh dengan keajaiban seseorang. Sebab, mungkin saja itu adalah tukang sihir atau seseorang yang memiliki kemampuan untuk memerintah jin.

Meski demikian, tak bisa juga kita mengingkari bahwa ada hamba-hamba Tuhan yang dikaruniai kedekatan sehingga ia diberi ilham dan kekeramatan. Inilah yang perlu dicari dan diikuti. Para sufi pemula juga tidak boleh terlalu yakin dengan bisikan-bisikan dan informasi gaib yang muncul pada dirinya sebab belum tentu itu bisikan malaikat. Boleh jadi itu bisikan setan.

Yang paling penting ialah keikhlasan sejati seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa ada motivasi duniawi sekecil apa pun. Kalaupun seandainya Allah SWT memberikan kekhususan seperti apa yang pernah diberikan Tuhan kepada kekasih-Nya yang lain, biarkanlah itu disimpan di dalam memorinya sendiri.

Tak perlu hal itu digembar-gemborkan. Apalagi didasari oleh dorongan keinginan untuk menjadi populer dan demi kepentingan duniawi lainnya. Oleh karena itu, orang yang hendak menjalani kehidupan sufistik harus belajar banyak, memilih pembimbing yang benar, dan tidak boleh meninggalkan apalagi mengecilkan arti dan peran syariat. Jangan sampai kita menginginkan kedekatan, tetapi yang diperoleh adalah kesesatan.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/24/lzw0u9-apa-yang-perlu-diperhatikan-sufi-pemula-3habis

Mengapa Mursyid Diperlukan? (1)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
"Barang siapa yang tidak mempunyai mursyid, setanlah yang akan menjadi gurunya." (Imam Malik).

"Jika seseorang berjalan tanpa mursyid, dia akan tersesat. Dia akan menghabiskan umurnya tanpa mencapai apa yang diharapkan." (Ibnu Athaillah).

Mursyid dalam literatur tasawuf berarti pembimbing spiritual bagi orang-orang yang menempuh jalan khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang menempuh jalan itu biasa disebut salik, dan jalan yang ditempuhnya disebut dengan thariqah.

Biasanya, mursyid dalam sebuah tarekat memiliki beberapa tingkatan, mulai dari mursyid utama (mursyid kamil) yang biasa juga disebut dengan syekh, sampai kepada mursyid pembantu, yang memiliki kewenangan terbatas dibandingkan kewenangan yang melekat pada mursyid utama.

Tugas dan fungsi mursyid

Tugas dan fungsi mursyid adalah membimbing, mendidik, dan menempa para salik yang juga disebut murid (orang-orang yang memiliki kesungguhan belajar mengenal Allah) dalam memahami jalan-jalan spiritual menuju Allah. Mursyid dengan tekun menuntun salik.

Langkah itu mulai dari proses pembersihan dan pencucian diri (tadzkiyah al-nafs) hingga di antara mereka mencapai pemahaman yang mendalam (ma’rifah) terhadap Al-Haq. Tugas dan fungsi mursyid di hadapan para salik menyerupai Rasulullah SAW di depan para sahabatnya.

Jika para sahabat dengan tekun dan penuh tawadhu di hadapan Rasulullah, para salik juga melakukan hal yang sama di hadapan mursyidnya. Mursyid pertama kali melakukan seleksi siapa yang bisa menjadi salik. Banyak cara dan metode ditempuh mursyid dalam menyeleksi calon salik.

Di Konya, Turki, calon salik yang akan bergabung dalam tarekat Jalaluddin Rumi dan selanjutnya menjalani latihan tarian sufi (Whirling Darwishes), diuji secara lisan di depan mursyid di maktab dalam bentuk balai-balai yang berjejer di dalam suatu kompleks.

Penentuan diterima atau ditolaknya seorang calon ditandai dengan arah sandal. Jika sandal calon salik menghadap pintu balai-balai, pertanda calon itu lulus. Sebaliknya, jika sandal membelakangi pintu, sang calon ditolak. Setelah resmi diterima, mursyid mulai melakukan bimbingan pembersihan diri pada para salik itu.
 
Hal tersebut dilakukan sebelum mursyid mengajarkan dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran spiritual. Ini dilakukan sebagaimana halnya Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebelum mengajarkan Alquran, terlebih dahulu dilakukan pembersihan dan penyucian jiwa, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, "Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 151).

Dalam ayat ini terungkap, sebelum dilakukan pengajaran (yu’allimukum) terlebih dahulu dilakukan penyucian diri (yuzakkikum). Dalam ayat lain juga ditegaskan, La yamassuhu illa al-thahharun. Maknanya, tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (QS. Al-Waqi’ah: 79).

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/27/m01kmb-mengapa-mursyid-diperlukan-1

Mengapa Mursyid Diperlukan? (2)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Kesucian jiwa dan keluhuran pikiran tergambar dari kelembutan dan ketawaduan komunitas tasawuf dan tarekat, apalagi dari para salik kepada mursyid atau syekhnya.

Keadaan ini tergambar dari pernyataan Ali bin Abi Thalib, "Man ‘allamani harfan kuntu lahu ‘abdan. (Barang siapa mengajariku satu huruf, aku rela menjadi budaknya)."

Bahkan dikatakan, mursyid di tengah para muridnya bagaikan Nabi di tengah para sahabatnya. Dan salik yang belum menunaikan hak-hak mursyid, maka belum menunaikan hak-hak Allah. Itulah sebabnya, kitab tipis Al-Ta’lim al-Muta’allim yang mengajarkan etika pembelajaran, masih menjadi pelajaran wajib di pesantren.

Kriteria mursyid

Menjadi mursyid tentu lebih berat ketimbang menjadi salik. Selain sifat-sifat standar sebagai seorang shalihin/shalihat seperti alim, amanah, tawadu, terpercaya, wara', sabar, teladan dalam pengamalan syariat, dan tentunya berakhlak mulia. Posisi dan kedudukan mursyid juga terkadang ditentukan sistem dan organisasi setiap tarekat.

Tarekat yang dikenal secara umum (mu’tabarah) biasanya memberikan kriteria mursyid dengan sangat ketat. Berbeda dengan tarekat yang tidak populer (ghair mu’tabarah) biasanya lebih longgar. Secara khusus, seorang mursyid selalu berusaha membersihkan niat dan meluruskan tujuan hidup salik.

Mursyid juga mengetahui kemampuan salik, mendidik tanpa pamrih, menyesuaikan ucapan dan tindakan, menyayangi orang lemah, menyucikan ucapan, berbicara dengan bijaksana, selalu mengingat dan memuliakan Allah sewaktu berbicara, serta  menjaga rahasia salik.
Selain itu, mursyid pun mempunyai sikap memaafkan kesalahan salik, mengabaikan haknya sendiri, memberikan hak-hak salik, mampu membagi waktu untuk menyendiri atau berkhalwat dan beramal, serta selalu mengerjakan amal sunah dan amal-amal sosial.

Sejatinya, mursyid juga memiliki sifat-sifat lebih khusus seperti merasa fakir setelah kaya, merasa rendah setelah tinggi, merasa sepi setelah populer, memuliakan ilmu pengetahuan dan mengamalkannya, bersih jiwanya, dan lurus jalan pikirannya. Tentu saja, sifat-sifat tersebut sudah menjadi sifat-sifat alamiah para mursyid.

Jika mursyid menyimpang jauh dari kriteria, itu akan menimbulkan dampak luas di dalam masyarakat. Kriteria mursyid seperti di atas sesungguhnya juga dimiliki kalangan ulama, meski tak secara formal mereka menjadi mursyid. Bahkan, mungkin ada di antara mereka lebih layak menjadi atau disebut mursyid.

Para wali misalnya, banyak sekali yang tidak tergabung di dalam tarekat dan karenanya tidak disebut mursyid. Orang bisa disebut mursyid jika mempunyai salik. Seorang yang mumpuni tetapi tidak punya salik, tentu tidak mungkin disebut mursyid.

Mengapa Mursyid Diperlukan? (3-habis)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Kedudukan mursyidTidak sedikit pandangan kritis terhadap mursyid. Bahkan, ada yang menuduh mursyid sudah cenderung seperti Santo dalam agama Katolik yang memiliki kedudukan sakral dan difigurkan sebagai representasi Tuhan dalam menghadapi hambanya. Ada moto bahwa salik bagaikan mayat di depan mursyidnya.

Mursyid terlalu aktif dan dominan, tidak boleh dibantah; dan para salik harus menerima tanpa pamrih apa pun petunjuk dan perintah mursyid. Seolah-olah mursyid mematikan kreativitas salik. Apalagi sekarang, tidak sedikit orang mengaku atau dipersepsikan mursyid, tetapi sesungguhnya motifnya adalah hal bersifat duniawi.

Mursyid dan tarekat seperti inilah yang sering mencoreng keluhuran tujuan tasawuf dan tarekat. Namun, pandangan kritis berlebihan dalam menilai mursyid juga perlu dikritisi. Pada umumnya, mursyid yang sejati tidak pernah mau disebut sebagai mursyid, bahkan tidak sadar kalau dirinya dianggap mursyid.

Mursyid pada umumnya memiliki tujuan suci, yaitu  ingin menyelamatkan para salik dalam menapaki jalan-jalan yang tidak umum. Banyak ulama besar yang tadinya menolak tasawuf dan kedudukan mursyid, tetapi belakangan berubah secara totak. Mereka menjadi pengamal tasawuf dan mursyid.

Di antara mereka adalah Ibnu Athaillah As-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzudin Ibnu Abdis Salam, Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Mereka sadar, jalan memperoleh makrifat tak bisa ditempuh hanya mengandalkan pengetahuan akal rasional yang cuma akan meraih ‘ilmul yaqin, belum sampai tahap haqqul yaqin.

Akhirnya, mereka pun menyadari, tanpa mursyid sulit untuk sampai kepada Allah (wushul). Dalam dunia kosmologi tasawuf, para salik yang berjalan tanpa bimbingan rohani mursyid, tidak akan atau sulit untuk membedakan mana bisikan-bisikan lembut (hawathif) yang datang dari Allah melalui malaikat atau dari setan atau jin.

Dari sinilah muncul sebuah adagium "Barangsiapa menempuh jalan khusus menuju Allah tanpa mursyid, mursyidnya adalah setan”. Menanggapi kecenderungan semakin maraknya pertumbuhan ajaran tasawuf dan tarekat di dalam masyarakat akhir-akhir ini, umat diimbau betul-betul teliti memilih tasawuf atau tarekat.

Jangan terlalu gampang terkecoh oleh promosi sebuah lembaga, atau terlalu cepat percaya pada kehadiran seorang mursyid. Mursyid yang sejati bukan orang yang mampu menebak rahasia pribadi, namun nasihatnya mengalir di dalam diri. Mursyid bukan pula orang yang mampu menuntun hanya dengan ucapan, tetapi juga mestinya mampu mengalirkan fibrasi dan energi spiritual di dalam diri kita.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/27/m01lop-mengapa-mursyid-diperlukan-3habis

Mengapa Persahabatan Spiritual Penting? (1)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Jangan bertanya tentang seseorang,
tetapi bertanyalah tentang sahabatnya.
Sebab, setiap orang akan mengikuti sahabatnya.
(Abdul Qadir Isa)

Persahabatan spiritual mempunyai arti penting bagi orang-orang yang menempuh perjalanan spiritual (salikin). Persahabatan spiritual bukan pertemanan biasa dalam arti teman diskusi dan berbagi pengalaman, tetapi pertemanan sejati yang bisa mengasah ketajaman batin kita di dalam memahami makrifat dan menyingkap tabir rahasia (mukasyafah).

Keutamaan persahabatan spiritual diisyaratkan dalam beberapa ayat antara lain: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS At-Taubah: 119). "Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS Luqman: 15).

Juga dalam hadits, "Orang-orang yang paling utama di antara kalian ialah orang-orang yang apabila mereka dipandang maka mereka mengingatkan kepada Allah.” (HR. Al-Hakim dari Anas). 

"Hai Ibnu Umar, agamamu, agamamu, agamamu, sesungguhnya dia adalah daging dan darahmu, perhatikanlah dari siapa engkau mengambilnya. Ambillah agama dari orang yang istikamah, dan janganlah mengambilnya dari orang yang menyimpang."
 (Al-Hadits).

Fungsi sahabat spiritual

Sahabat spiritual dapat menunjukkan penyakit-penyakit yang menghalangi kita untuk sampai kepada Allah SWT sekaligus menunjukkan obatnya. Ia mampu menanam dan menumbuhsuburkan rasa cinta kepada Tuhan. Sahabat spiritual sejati tidak cukup hanya mengajak kita memasuki sebuah pintu, tetapi juga menghilangkan tabir antara dia dan diri kita.

Sehingga kita tidak pernah menyembunyikan masalah apa pun yang terlintas di dalam pikiran kita terhadapnya. Ia tidak hanya menuntun dengan ucapan, tetapi juga mengalirkan energi spiritual dan pikiran positif. Ia selalu mendampingi kita, baik dalam keadaan sedang terjatuh di dalam kubangan dosa maupun di puncak maqam spiritual.

Ia pun selalu memicu kita untuk membersihkan diri dan meningkatkan riyadhah dan mujahadah. Ia seperti memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kita dari penjara hawa nafsu  dan mengantarkan kita ke hadapan Tuhan. Ia terus menuntun dan mendampingi sehingga kita berada di hadapan-Nya lalu seolah-olah membisiki kita,  "Inilah engkau dan Tuhanmu.”

Sahabat spiritual seperti ini langka, tetapi ada dan lebih banyak dari persangkaan kita. Hanya saja kita tidak punya kesungguhan untuk mencarinya. Seandainya di kemudian hari kita mencari dan menemukannya, maka bersyukurlah dengan cara belajar dan menghargai keberadaannya, sebab jika Tuhan mencintai hamba-Nya, Dia akan memperkenalkan hamba itu dengan sahabat spiritual.

Sebaliknya, bukanlah disebut sebagai sahabat spiritual jika dia yang justru mengalihkan perhatian kita dari Tuhan ke dunia dan materi. Malah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dengan tegas menyatakan, "Apabila engkau menemukan sahabat spiritualmu dalam keadaan lalai, tinggalkanlah!”

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/28/m03gla-mengapa-persahabatan-spiritual-penting-1

Mengapa Persahabatan Spiritual Penting? (2)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Antara mursyid dan sahabat spiritualMursyid memiliki jarak dan struktur dengan para salik/murid. Seorang salik harus hormat kepada mursyid. Bahkan tidak disarankan seorang salik membantah mursyidnya karena hal itu bisa berarti pelanggaran. 

Perkataan dan tindakan salik harus dikontrol, ketersinggungan mursyid terhadap salik bisa mendatangkan konsekuensi, bergantung pada aturan tarekat yang mereka ikuti.

Sahabat spiritual boleh jadi tidak memiliki jarak dan struktur. Sama-sama salik atau mursyid. Hubungan di antara satu sama lain bisa jadi selevel, namun bisa jadi juga terbentuk struktur, terutama jika salah seorang di antaranya berproses lebih menonjol sebagai senior dan lebih efektif memberi kearifan.

Tidak tertutup kemungkinan, seorang mursyid sekaligus sebagai sahabat spiritual, seperti lazim terjadi pada seorang guru yang juga menjadi teman muridnya. Hal itu bergantung pendekatan sang guru atau murid tersebut. 

Pengalaman sejumlah mursyid yang terangkum dalam Jami’ Karamat al-Auliya’ karya Syekh Yusuf bin Islamil An-Nabhan, menunjukkan sahabat spiritual tak mesti manusia yang hidup, tetapi juga bisa mereka yang sudah meninggal dunia.

Roh para nabi dan auliya’ diyakini sejumlah ulama dapat berkomunikasi dengan orang hidup, seperti pengalaman Imam Al-Gazali dan Ibnu Arabi. Salah satu pernyataan muncul dari seorang sufi bahwa alangkah miskinnya seorang murid jika gurunya hanya orang-orang hidup. Ini artinya, sumber informasi spiritual boleh jadi berasal dari makhluk lain.

Dalam dunia tasawuf, Tuhan mempunyai banyak alam lain selain alam dunia atau bumi kita ini. Di kenal juga ada alam malakut dan alam jabarut. Setiap alam Tuhan itu mempunyai penghuni suci seperti halnya bumi ini. Orang-orang yang memiliki kebersihan dan kejernihan spiritual dianggap memiliki kemampuan untuk "bersahabat” dan berkomunikasi dengan para penghuni alam-alam tersebut.

Sekiranya ini benar, pantas banyak sekali ulama atau sufi yang memiliki kemampuan spiritual atau supernatural yang memahami sejumlah rahasia dan misteri alam ini.

Pengalaman dalam Alquran dan hadits 

Kalangan sufi sering mengilustrasikan persahabatan spiritual ini dengan pengalaman sejumlah tokoh di dalam Alquran, seperti kisah Nabi Musa dan Khidhir. Musa dengan kedudukannya sebagai nabi masih merasakan adanya kesusahan dan keletihan dalam menjalani perjalanan hidupnya: "Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS Al-Kahfi: 62).

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/28/m03gt5-mengapa-persahabatan-spiritual-penting-2

Mengapa Persahabatan Spiritual Penting? (3-habis)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Nabi Musa masih merasa memerlukan sahabat untuk berbagai pengalaman, namun ragu dan berkata, "Aku tidak mengetahui ada seorang yang lebih berilmu dariku." 

Saat itu, Allah SWT menunjuk dan memperkenalkan hamba-Nya yang saleh, belakangan disebut dengan Khidhir AS, sebagaimana diabadikan dalam QS Al-Kahfi: 66-70).

Nabi Musa berkata kepada Khidir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Khidir menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.”

"Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu," kata Khidir.

Ujung perjalanan dua anak manusia ini berakhir dengan ketidaksanggupan Nabi Musa mengikuti persyaratan yang ditetapkan oleh sahabatnya itu. Nabi Musa masih kental menggunakan dimensi logika di dalam menanggapi kelakuan sahabatnya, meskipun sudah diingatkan bahwa belum saatnya untuk bertanya apalagi memprotesnya. Misalnya, ketika sahabatnya melubangi perahu nelayan, membunuh anak kecil yang tak berdosa, dan memugar bangunan tua lalu ditinggalkan.

Dalam hadits banyak ditemukan keutamaan orang-orang yang menjalin persahabatan sejati (ash-shuhbah). Di antaranya ialah mereka akan menjadi salah satu di antara tujuh kelompok yang akan mendapatkan vila peristirahatan di bawah ‘Arasy di Padang Mahsyar, di hari ketika matahari tinggal sedepa di atas kepala dan tidak ada tempat berteduh lain selain itu.

Persahabatan spiritual juga dialami oleh para sufi. Hampir semua sufi besar pernah menceritakan sahabat spiritual sejatinya. Misalnya Imam Al-Ghazali, yang tadinya diakui tidak memberi tempat terhadap dunia tasawuf dengan segala tradisinya, berkenalan dengan seorang ulama tasawuf bernama Yusuf An-Nasaj.

Setelah keduanya menempuh perjalanan hidup intelektual-spiritual, pada akhirnya Imam Al-Ghazali sadar bahwa kehidupan paling memuaskan adalah kehidupan sufistik. Dari kesadaran inilah maka ia menulis masterpiece-nya, Ihya Ulumuddin. Ia mengakui, betapa jauh sahabatnya itu telah mengubah pandangan hidupnya dari seorang yang berkecenderungan sebagai filsuf menjadi sufi.

Hal yang sama juga dialami oleh Jalaluddin Rumi, yang lahir pada 30 September 1207 Masehi, bersahabat akrab dengan Syamsuddin Tabrizi (Syams). Ia pernah difitnah keji sebagai pasangan homoseksualnya karena syair-syair Jalaluddin Rumi dalam Masnawi-nya penuh dengan syair cinta terhadap Syams.

Padahal, yang sesungguhnya terjadi ialah persahabatan spiritual di antara keduanya. Dalam sumber lain, Syams tidak lain adalah Khidir AS (Allahu a’lam). Kita belum terlambat untuk mencari sahabat spiritual sekiranya kita belum menemukannya. Dengan usaha dan doa kepada Allah SWT, semoga kita dipertemukan dengan sahabat spiritual sejati kita. Amin. 

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/28/m03h4x-mengapa-persahabatan-spiritual-penting-3habis