الهى انت مقصؤ دئ ؤ رضاك مطلؤ ب اعطنى محبتك و معرفتك

Engkaulah Tujuanku, keridhoan Engkau sajalah yang kuharapkan, berikan aku cinta untuk mengenal-MU lebih sempurna


Rabu, 03 Januari 2018

Jauhar dan 'Aradh

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar*
Salah satu pembahasan yang amat rumit di dalam ilmu filsafat dan ilmu tasawuf ialah masalah jauhar dan 'aradh. Kesulitannya bukan hanya dari segi ontologinya yang akan membahas dari sesuatu yang sangat konkret sampai ke yang mahaabstrak, melainkan juga kita akan mengabstrakkan yang konkret dan mengonkretkan yang abstrak. Dalam tulisan ini lebih ru mit lagi karena juga akan dicoba mengungkap perbedaan antara jauhar dan 'aradh menurut ka langan filsuf dan menurut kalangan sufi.

Jauhar adalah substansi dari sebuah wujud yang dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa ban tuan wujud lain, seperti badan, pohon, batu, dan lain sebagainya. Sedangkan, 'aradh adalah accident yang tidak memiliki substansi wujud tersendiri, tetapi memerlukan wujud lain untuk mewujudkan dirinya, seperti warna dan bentuk.

Jauhar dan 'aradh, menurut para filsuf, merupakan dua struktur entitas yang berbeda walaupun keduanya sulit untuk di pisahkan. Sedangkan, menurut kalangan sufi, 'aradh dan jauhar bukanlah merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi yang satu merupakan hakikat dan lainnya merupakan manifestasi, seperti Allah sebagai hakikat wujud (al- Haqiqah al-Wujud), kemudian memunculkan manifestasi (ma dhhar). Antara hakikat wujud dengan wujud-wujud (a’yan) yang mewujudkan diri-Nya walaupun keduanya berbeda, tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Jauhar dan 'aradh adalah dua manifestasi yang mewujudkan diri-Nya. Yang pertama, (jauhar) manifestasi mampu mewujudkan dirinya sendiri, sedangkan yang kedua ('aradh manifestasi yang tidak mampu mewujudkan diri nya, dengan kata lain ia memerlukan jauhar-jauhar untuk me mantulkan keberadaan dirinya sendiri. Contohnya, bendera Indo nesia, merah putih, tidak mungkin bisa terwujud tanpa ada bahan kain atau tembok tempat warna merah putih itu menempel. Kain atau tembok adalah jauhar, sedangkan warna merah dan putih adalah 'aradh. Contoh lain, se buah nama ngan yang dinamai. Nama adalah menempel pada sebuah zat, ka rena itu nama disebut jauhar dan zat yang dinamai disebut 'aradh.

Dalam pandangan filsafat kain, tembok, yang dinamai merupakan entitas tersendiri dan merah, putih, dan nama juga merupakan entitas tersendiri. Se dangkan, menurut kalangan sufi, kedua komponen itu bukan merupakan entitas tersendiri, yang berbeda, dan terpisah satu sama lain.

Analoginya, para filsuf dan teolog menganggap Tuhan dan makhluknya entitas yang berbeda, bahkan sangat amat berbeda. Satu Tuhan Yang Mahamulia, yang lainnya makhluk yang sa ngat bersahaja dan sederhana. Sedangkan, kalangan sufi meng anggap keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisah kan (tauhid). Yang satu merupakan zat, Haqiqat al-Wujud, yang lain nya adalah manifestasi (madhhar) dari zat atau Haqiqat al-Wujud, baik dalam bentuk jauhar maupun 'aradh.

Dalam pandangan tasawuf, bisa disimpulkan bahwa perwujudan segala sesuatu (a'yan) merupakan manifestasi 'aradh dan 'aradh merupakan manifestasi dari jauhar, kemudian jauhar manifestasi dari al-Haq (al- Haqiqah al-Wujud). Dari sinilah sebabnya, mengapa kalangan sufi enggan menyebut al-Khaliq dan al-makhluq, tetapi lebih suka menyebut istilah al-Haq untuk Tuhan dan al-khalq untuk makhluk, termasuk manusia, karena garis demarkasi antara al-Khaliq dan al-Makhluq sangat tidak je las. Mungkin yang paling dekat dapat dijadikan ukuran ialah an tara al-A'yan al-Tsabitah yang sering juga disebut al-A'yan al- Dakhiliyyah (walaupun ini sebetulnya tidak terlalu tepat) dan ala'yan al-kharijiyyah (lihat artikel terdahulu, “Apa Itu al-A’yan al- Tsabitah”).

Konsep al-Haqiqah al-Wujud ini juga masih mempunyai pembahasan lebih mikro karena penerapan konsep jauhar dan 'aradh ini dapat membantu kita untuk memahami Tuhan yang selama ini mungkin amat susah dipahami. Nabi juga pernah mewanti-wanti kita dengan hadisnya, “Pikirkan lah makhluk Tuhan, jangan memikirkan zat-Nya.” (Tafakkaru fi khalq Allah wa la tafakkaru fi dzat Allah). Ini bukan berarti Tuhan Mahakikir, tidak mau mem perkenalkan diri-Nya kepa da hamba-Nya, sungguh itu ma nusia sebagai makhluk ciptaan paling mulia-Nya, tetapi kata penyair Jalaluddin Rumi, apalah arti sebuah cangkir untuk menampung samudra. Artinya, kapasitas memori manusia sangat tidak mampu untuk menampung Zat Yang Mahabesar.

Sekuat apa pun ilmu pengetahuan, tidak akan pernah sang gup menjelaskan zat Tuhan. Jangankan Tuhan, kalimat-kalimat Tuhan pun tidak akan pernah mampu dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, seperti ditegaslan di dalam QS al-Kahfi, sekalipun lautan samudra bisa dijadikan tinta dan ditambah berkali-kali lagi, tidak akan pernah kita bisa menjelaskan secara sempurna kalimat Tuhan.

Satu-satunya cara bisa digunakan untuk memahami lebih mendalam kompleksitas Tuhan ialah dengan menggunakan ma'rifah atau biasa juga disebut hik mah. Hanya saja ma'rifah atau hikmah tidak semua manusia bisa mengaksesnya. Alquran menegaskan, hanya orang tertentu yang dikehendaki Tuhan yang mampu mengakses hikmah (yutil hikmah man yasya' wa man yutal hikmah faqad utiyah khairan katsiran). Sungguh beruntunglah orang yang mendapatkan hikmah itu. 


*Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Wakil Menteri Agama RI

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/02/20/lzp270-jauhar-dan-aradh

0 komentar: